Mataramjava

Masalalu untuk tolak ukur ke depan yang lebih baik.

Warisan Budaya Dunia

Museum Sangiran terletak di desa Krikilan,Kec. Kalijambe ( + 40 km dari Sragen atau + 17 km dari Solo) Sangiran Dome menyimpan puluhan ribu fosil dari jaan pleistocen ( + 2 juta tahun lalu). Fosil-fosil purba ini merupakan 65 % fosil hominid purba di Indonesia dan 50 % di seluruh dunia. Hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di gudang penyimpanan.Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya Dunia). Museum ini memiliki fasilitas-fasilitas diantaranya :ruang pameran (fosil manusia, binatang purba), laboratorium, gudang fosil, ruang slide dan kios-kios souvenir khas Sangiran.. Museum ini berdekatan dengan area situs fosil purbakala Sangiran. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 56 km² meliputi tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Situs Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran yang merupakan bagian dari depresi Solo, di kaki Gunung Lawu (17 km dari kota Solo). Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid Purba (diduga sebagai asal evolusi Manusia) ada 50 (Limapuluh) Jenis/Individu. Untuk Fosil-fosil yang diketemukan di Kawasan Sangiran merupakan 50 % dari temuan fosil di Dunia dan merupakan 65 % dari temuan di Indonesia.

Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald.Lebih menarik lagi, di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli dapat merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan.Keistimewaan Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba merupakan hamparan lautan. Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Misalnya, Fosil Binatang Laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu merupakan lautan.

Koleksi Museum Sangiran.

1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus mojokertensis (Pithecantropus robustus ), Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .

2Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).

3.Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera .

4.Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis.

5.Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak.

Untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan akan tempat penginapan yang nyaman di Kawasan Sangiran telah dibangun Wisma Sangiran ( Guest House Sangiran) yang terletak di sebelah Menara Pandang Sangiran. Wisma Sangiran ini berbentuk joglo (rumah adat Jawa Tengah) dengan ornamen-ornamen khas Jawa yang dilengkapi dengan pendopo sebagai lobby . Keberadaan Wisma Sangiran ini sangat menunjang kegiatan yang dilakukan oleh para tamu atau wisatawan khususnya bagi mereka yang melakukan penelitian ( research ) tentang keberadaan fosil di Kawasan Sangiran. Wisma Sangiran memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai, antara lain : Deluxe Room , sebanyak dua kamar dilengkapi dengan double bed , bath tub dan shower , washtafe l, meja rias dan rak ; Standard Room , sebanyak tiga kamar dilengkapi dengan double bed , bak mandi, washtafel , dan meja rias; Ruang Keluarga yang dilengkapi dengan meja dan kursi makan serta kitchen set ; Pendopo ( Lobby ) yang dilengkapi dengan meja dan kursi ; serta tempat parkir. Selain fasilitas-fasilitas tersebut, juga disediakan mobil (mini train ) untuk memudahkan mobilitas para wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Sangiran.

Rute untuk sampai di museum sangiran:

Jalan Darat

• Dari Solo > Kalijambe > Sangiran ( ± 20 km ke arah utara)

• Dari Semarang > Purwodadi > Kalijambe â Sangiran

• Dari Surabaya > Sragen > Kalijambe â Sangiran

• Dari Yogyakarta > Solo > Kalijambe â Sangiran

Situs Sangiran merupakan tempat yang tempat untuk melakukan perjalanan kembali ke masa pra sejarah. Banyak hal yang bisa dipelajari di situs ini, antara lain tentang kehidupan di masa lalu dan tentang misteri evolusi makhluk hidup yang sangat menarik untuk diungkap. Semoga penjelasan ini bisa memberikan gambaran bagi para pembaca bahwa ada dunia menakjubkan di balik Situs Sangiran. Pengetahuan ini perlu disebarluaskan kepada para generasi penerus supaya mereka ikut melestarikan warisan dunia yang menakjubkan ini. Informasi tersebut akan terasa lebih lengkap lagi apabila disertai dengan kunjungan langsung ke Museum Sangiran dan kunjungi website Situs Sangiran di http:// www.sangiran.info/ atau http:/www.sragenkab.go.id /.posting ulang dan editing by Mataramjava.

 

 

February 20, 2011 Posted by | Campuran | | Leave a comment

Kerajaan Medang

Medang Kamulan.

Medang Kamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang. “Kamulan” berarti “permulaan”, sehingga “Medang Kamulan” dapat diartikan sebagai “pra-Medang”.

Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat, misalnya dalam legenda Loro Jonggrang, dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang zalim. Cerita rakyat lain, di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura, menyatakan bahwa Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi.

Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar. Van der Meulenmenduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbahkan kepada “Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya” yang diajukan van Orsoy, dalam artikelnya tentang Kerajaan “Ho-Ling” yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada. Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah Bujangga Manik meninggalkan Pulutan (sekarang adalah desa di sebelah barat Purwodadi, Jawa Tengah) ia tiba di “Medang Kamulan”. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah menyeberangi Sungai Wuluyu, tibalah ia di Gegelang yang terletak di sebelah selatan Medang Kamulan. Naskah inilah yang pertama kali menyebutkan bahwa memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu adalah kerajaan.

Masyarakat Sunda diketahui mengenal legenda mengenai kerajaan ini, yang dikatakan mendahului Kerajaan Sunda Galuh.


Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang 
Kamulan terletak di Jawa Timur, yaitu di muara sungai Brantas.ibu kotanya 
bernama Watan Mas ( diperkirakan di daerah Ploso—antara Jombang dan Lamongan ). 
Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat 
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun, wilayah kekuasaan 
Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup daerah 
Nganjuk disebelah barat, daerah Pasuruan di sebelah timur, daerah Surabaya di 
sebelah utara, dan daerah Malang di sebelah selatan. Dalam perkembangan 
selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh 
wilayah Jawa Timur.

1. Sumber Sejarah

Berita India mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan 
dengan Kerajaan Chola. Hubungan ini bertujuan untuk membendung dan menghalangi 
kemajuan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
            Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman 
Dinasti Sung. Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara 
kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan 
dan pertikaian, sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Negeri Cina (tahun 
990 M), terpaksa harus tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada 
tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan pada saat itu 
Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan.

2. Kehidupan Politik
            Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan, terdapat 
beberapa raja yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut adalah 
sebagai berikut.
Raja Mpu Sindok
            Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar Mpu 
Sindok Isyanatunggadewa. Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti 
Isyana. Raja Mpu Sindok masih termasuk keturunan dari raja Dinasti Sabjaya 
(Mataram) di Jawa Tengah. Karena kondisi di Jawa Tengah tidak memungkinkan 
bertahtanya Dinasti Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok 
memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur. Bahkan dalam prasasti terakhir 
Mpu Sindok (947 M) menyatakan bahwa Raja Mpu sindok adalah peletak dasar dari 
Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.

Dharmawangsa
            Raja Dharmawangsa dikenal sebagai salah seorang raja yang memiliki 
pandangan politik yang tajam. Semua politiknya ditujukan untuk mengangkat 
derajat kerajaan. Kebesaran Raja Dharmawangsa tampak jelas pada politik luar 
negerinya. 

Airlangga 
            Dalam Prasasti Calcuta disebutkan bahwa Raja Airlangga (Erlangga) 
masih termasuk keturunan dari Raja Mpu Sindok dari pihak ibunya. Ibunya bernama 
Mahendradata (Gunapria Dharmapatni) yang kawin dengan Raja Udayana dari Bali . 

3. Kehidupan Ekonomi
            Raja Mpu Sindok mendirikan ibu kota kerajaannya di tepi Sungai 
Brantas, dengan tujuan menjadi pusat pelayaran dan perdagangan di daerah Jawa 
Timur. Bahkan pada masa pemerintahan Dharmawangsa, aktifitas perdagangan bukan 
saja di Jawa Timur, tetapi berkembang ke luar wilayah jawa Timur.
            Di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa, Kerajaan Medang Kamulan 
menjadi pusat aktifitas pelayaran perdagangan di indonesia Timur. Namun akibat 
serangan dari Kerajaan Wurawari, segala perekonomian Kerajaan Medang Kamulan 
mengalami kehancuran.

KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan 
Medang Kamulan). Pada akhir kekuasaan pemerintahan Raja Airlangga, wilayah 
kerajaannya dibagi dua, untuk menghindari terjadinya perang saudara. Maka 
muncullah Kerajaan Kediri dengan ibu kota Daha, diperintah Jayawarsa dan 
Kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya Kahuripan diperintah oleh Jayanegara.

Raja Jayawarsa
            Masa pemerintahan Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui 
Prasasti Sirah Keting. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat 
besar perhatiannya kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan 
hidup rakyatnya.

Raja Bameswara
            Pada masa pemerintahannya, Raja Bameswara (1117-1130 M) banyak 
meninggalkan prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Tulungagung dan 
Kertosono.

Raja Jayabaya
            Raja Jayabaya (1135-1157 M) merupakan raja terkemuka dari Kerjaan 
Kediri, karena di bawah pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai masa 
kejayaannya. Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayahnya mengilhami 
pujangga Empu Sedah dan Empu Panuluh untuk menulis Kitab Bharatayuda.

Raja Gandra
            Masa pemerintahan Raja Gandra (1181 M) berhasil diketahui dari 
Prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti 
nama Gajah, Kebo atau Tikus.

Raja Kameswara
            Pada masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra 
mengalami perkembangannya yang sangat pesat. Diantaranya Empu Dharmaja 
mengarang Kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikenal 
cerita-cerita panji seperti Panji Semirang.

Raja Kertajaya
Raja Kertajaya (1190-1222 M) merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri. Raja 
Kertajaya juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis.

Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya 
kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi 
hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum 
Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.

Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu 
diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana 
banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukkannya untuk 
menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana 
melakukan serang ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter 
(1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja 
Kertajaya berhasil meloloskan diri.

Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan 
Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan 
Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.

February 17, 2011 Posted by | Babat Tanah Jawa | Leave a comment

Iklan Printer

Printer Murah

PRINTER

Salah satu printer terbaik dengan resonansi print berwarna yang tampil cerah ,elegan dan,menawan,dengan harga yang relatif terjangkau.Bagus untuk melengkapi PC anda di rumah.

February 11, 2011 Posted by | iklan produk | Leave a comment

Theodolite.

Leica T.800

DT-510

Salah satu jenis Theodolite semi digital,dengan penerapan computer lewat flashdisc,untuk pengukuran yang akurat bisa ditambahkan perangkat seperti bak ukur ataupun prisma ukur.penentuan jarak dan elevasi dengan pengukuran topografi sudah secara otomatis tersimpan di program dan tinggal menerapkan di computer anda.silahkan mencoba theodolite ini ?!!.

February 11, 2011 Posted by | iklan produk | Leave a comment

Atlantis

Atlantis benua yang hilang .

February 11, 2011 Posted by | Campuran | Leave a comment

Mataram Islam

February 11, 2011 Posted by | Campuran | Leave a comment

Raja-Raja Mataram.

Berikut ini adalah daftar raja kerajaan-kerajaan di JawaIndonesia:

Dinasti Syailendra.Mataram Kuno

Dinasti Sanjaya

Medang

Kahuripan

  • Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)

Janggala

(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)

Kadiri

(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)

Singhasari

Majapahit

Demak

Kesultanan Pajang

Mataram Baru

Daftar ini merupakan Daftar penguasa Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram IslamCatatan: sebagian nama penguasa di bawah ini dieja menurut ejaan bahasa Jawa.

Kasunanan Kartasura

Lihat pula: Kasunanan Kartasura
  1. Amangkurat II (1680 – 1702), pendiri Kartasura.
  2. Amangkurat III (1702 – 1705), dibuang VOC ke Srilangka.
  3. Pakubuwana I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
  4. Amangkurat IV (1719 – 1726), leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
  5. Pakubuwana II (1726 – 1742), menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan Surakarta.

Kasunanan Surakarta

 

Lambang Pakubuwana

  1. Pakubuwana II (1745 – 1749), pendiri kota Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
  2. Pakubuwana III (1749 – 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah kerajaannya.
  3. Pakubuwana IV (1788 – 1820)
  4. Pakubuwana V (1820 – 1823)
  5. Pakubuwana VI (1823 – 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga dikenal dengan nama Pangeran Bangun Tapa.
  6. Pakubuwana VII (1830 – 1858)
  7. Pakubuwana VIII (1859 – 1861)
  8. Pakubuwana IX (1861 – 1893)
  9. Pakubuwana X (1893 – 1939)
  10. Pakubuwana XI (1939 – 1944)
  11. Pakubuwana XII (1944 – 2004)
  12. Gelar Pakubuwana XIII (2004 – sekarang) diklaim oleh dua orang, Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.

Kasultanan Yogyakarta

 

Lambang Hamengkubuwana

Hamengkubuwana atau Hamengkubuwono atau Hamengku Buwono atau lengkapnya Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah adalah gelar bagi raja Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Dinasti Hamengkubuwana tercatat sebagai dinasti yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pada masa masing-masing, antara lain Hamengkubuwana I atau nama mudanya Pangeran Mangkubumi, kemudian penerusnya yang salah satunya adalah ayah dari Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana III. Sri Sultan Hamengkubuwana IX pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia yang kedua.

Yang bertahta saat ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Daftar sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Sri Sultan Hamengkubuwono I 13 Februari 1755 24 Maret 1792
2. Sri Sultan Hamengkubuwono II 2 April 1792 akhir 1810 periode pertama
3. Sri Sultan Hamengkubuwono III akhir 1810 akhir 1811 periode pertama
Sri Sultan Hamengkubuwono II akhir 1811 20 Juni 1812 periode kedua
Sri Sultan Hamengkubuwono III 29 Juni 1812 3 November 1814 periode kedua
4. Sri Sultan Hamengkubuwono IV 9 November 1814 6 Desember 1823
5. Sri Sultan Hamengkubuwono V 19 Desember 1823 17 Agustus 1826 periode pertama
Sri Sultan Hamengkubuwono II 17 Agustus 1826 2 Januari 1828 periode ketiga
Sri Sultan Hamengkubuwono V 17 Januari 1828 5 Juni 1855 periode kedua
6. Sri Sultan Hamengkubuwono VI 5 Juli 1855 20 Juli 1877
7. Sri Sultan Hamengkubuwono VII 22 Desember 1877 29 Januari 1921
8. Sri Sultan Hamengkubuwono VIII 8 Februari 1921 22 Oktober 1939
9. Sri Sultan Hamengkubuwono IX 18 Maret 1940 2 Oktober 1988
10. Sri Sultan Hamengkubuwono X 7 Maret 1989 sekarang

Praja Mangkunagaran di Surakarta

 

Lambang Mangkunegara

  1. Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 – 1795)
  2. Mangkunagara II (1796 – 1835)
  3. Mangkunagara III (1835 – 1853)
  4. Mangkunagara IV (1853 – 1881)
  5. Mangkunagara V (1881 – 1896)
  6. Mangkunagara VI (1896 – 1916)
  7. Mangkunagara VII (1916 -1944)
  8. Mangkunagara VIII (1944 – 1987)
  9. Mangkunagara IX (1987 – sekarang)

Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta

 

Lambang Pakualaman

  1. Paku Alam I (1813 – 1829)
  2. Paku Alam II (1829 – 1858)
  3. Paku Alam III (1858 – 1864)
  4. Paku Alam IV (1864 – 1878)
  5. Paku Alam V (1878 – 1900)
  6. Paku Alam VI (1901 – 1902)
  7. Paku Alam VII (1903 – 1938)
  8. Paku Alam VIII (1938 – 1998)
  9. Paku Alam IX (1998 – sekarang)

posting ulang saduran.

February 10, 2011 Posted by | Babat Tanah Jawa | | Leave a comment

Mataram Kuno

KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindumaupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.sm..Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Nama

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan Medang

 

Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataramkemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,

  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
  • Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
  • Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
  • Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)

Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna. Sanna juga dikenal dengan nama sena atau Bratasenawa, yang merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 – 716 M).Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu sanna) dalam tahun 716 M.Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja. Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.

Mataram Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)

Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.  Bratasenawa beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan pada Tarusbawa. Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu Harisdarma sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa. Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil melengserkannya. Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu Harisdarma yang juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 M. Sanjaya atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi raja Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.

  1. Sumber Sejarah

Prasasti Canggal Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka Tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa sangsekerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) yang merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena yang kemudian digantikan oleh Sanjaya. Prasasti Metyasih/Balitung Prasasti ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M.  Prasasti Metyasih yang diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.

  1. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya

Dari prasasti Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya yang pernah berkuasa, yaitu :

1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M) Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat. Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila sang Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak lirik raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menagkap tindakan, lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan sang raja. Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan sempurna, yaitu :

  • Tresna (Cinta Kasih)
  • Gumbira (Bahagia)
  • Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
  • Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman)

Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.

2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)

Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya. Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia  adalah :

  • Kasuran (Kesaktian)
  • Kagunan (Kepandaian)
  • Kabegjan (Kekayaan)
  • Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
  • Kasinggihan (Keluhuran)
  • Kasyuwan (Panjang Umur)
  • Kawidagdan (Keselamatan)

Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.

3. Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)

Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini“Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup” Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur Guru terdiri dari :

  • Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
  • Guru Swadaya, Tuhan
  • Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah
  • Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama

Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran  hukum dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.

4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)

Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan, yaitu : 1.      Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi. 2.      Pakaian raja adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa. 3.      Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugrah.

5. Sri Maharaja Rakai Garung  (820-840 M)

Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya. Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu :

  • Manacika yang berarti berfikir yang baik dan benar.
  • Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.
  • Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.

6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 – 856 M)

Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang. Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.

7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856 – 882 M)

Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya. Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada  enam alat untuk mencari ilmu, yaitu :

1.      Bersungguh-sungguh tidak gentar Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu. 2.      Bertenggang rasa Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.

3.      Ulah pikiran Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.

4.      Penerapan ajaran Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui

5.      Kemauan Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan

6.      Menguasai berbagai bahasa Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.

8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 – 899 M)

Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah  Tri Parama Arta yang berarti tiga perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Parama Arta terdiri dari :

1.      Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.

2.      Punian, perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.

3.      Bakti, perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru dan pemerintah.

9. Sri Maharaja Watukumara Dyah Balitung (898 – 915 M)

Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah Balitung. Masa pemerintahannya duja menjadi masa keemasan bagi Wangsa Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.

10. Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 – 919 M)

Daksottama yang berarti sorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu.

11. Sri Maharaja Dyah Tulodhong (919 – 921 M)

Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka tahun   809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat memperhatikan kaum brahmana

12. Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921 – 928 M)

Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M. Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional. Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang berarti tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang menciptakannya, Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan ketiga, hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.

13. Sri Maharaja Rakai Empu Sendok (929 – 930 M)

Empu Sendok, terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan kecakapannya. Manajemen dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.

  1. Keruntuhan Wangsa Sanjaya

Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.

B. Mataram Budha – Wangsa Syailendra (752 M)

1. Sejarah dan Lokasi Syailendra adalah wangsa atau dinasti Kerajaan Mataram Kuno yang beragama Budha. Wangsa Syailendra di Medang, daerah Jawa Tengah bagian selatan. Wangsa ini berkuasa sejak tahun 752 M dan hidup berdampingan dengan Wangsa Sanjaya.

2. Sumber Sejarah Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, Yaitu : Sumber India Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang menyatakah bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyan. Sumber Funan Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M dengan menggunakan nama Syailendra. Sumber Jawa Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di era pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan memintanya untuk berpindah agama. Selain dari teori tersebut di atas dapat dilihat dari beberapa Prasasti yang ditemukan, Yaitu : Prasasti Sojomerto Prasasti yang berasal dari pertengahan abad ke-7 itu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agamat Siwa Prasasti Kalasan Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggala Wangsa Sanjaya. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk umat Budha. Prasasti Klurak Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan Sanggha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra. Prasasti Ratu Boko Prasasti berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke Palembang. Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak  (782 M) “Syailendrawansantilakena”, Prasasti Abhayagiriwihara (792 M) “Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti Kayumwunan (824 M) “Syailendrawansatilaka”,

3. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Politik

Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan megah dan bernilai. Adapun Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :

1. Bhanu (752 – 775 M) Raja Banu merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra

2. Wisnu (775 – 782 M) Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.

3. Indra (782 – 812 M) Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan

4. Samaratungga ( 812 – 833 M) Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menhayati nilai agama dan budaya Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai dibangun.

5. Pramodhawardhani (883 – 856 M) Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.

6. Balaputera Dewa (883 – 850 M) Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan kepada Rakai  Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Pelembang.

4. Keruntuhan Wangsa Syailendra Sejak terjadi perebutan kekuasaan dan dipimpin oleh Rakai Pikatan, agama Hindu mulai dominan menggantikan agama Budha. Sejak saat itulah berakhirnya masa Wangsa Syailendra di Bumi Mataram.. Dari kedua Wangsa yang berkuasa di Bhumi Mataram tersebut, sampai saat ini masih dapat dilihat bangunan-bangunan suci yang berbentuk, yaitu : Candi di pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Prambanan, Candi Sambi Sari dan masih banyak yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.Purwadi, M.Hum, 2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Medan: Pujakesuma 2. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. 3.Posting baru saduran dari saloute.multiply.com.

February 10, 2011 Posted by | Babat Tanah Jawa | Leave a comment

Perpindahan Kerajaan Jawa kuno.

Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006

oleh: Supriati Dwi Andreastuti dkk

PENDAHULUAN
Gunung Merapi (2.968 m dpl.) sebagai salah satu gunung api aktif Indonesia telah banyak menarik perhatian masyarakat, baik karena aktivitasnya maupun keunikannya bila ditinjau dari sisi ilmiah maupun budaya. Banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pemantauan untuk keperluan mitigasi maupun untuk peningkatan pemahaman terhadap karakteristik Gunung Merapi itu sendiri.

Seperti diketahui, selama ini letusan Merapi dikenal selalu mengarah ke barat atau baratdaya. Hal ini dapat dipahami karena kawah aktif Gunung Merapi saat ini terbuka ke arah barat-baratdaya. Sehingga selama pertumbuhan kubah lava masih di dalam dan belum melampaui dinding kawah, maka letusan akan mengarah ke barat – baratdaya. Namun bila dinding kawah telah terlampaui dan pertumbuhan kubah melimpah keluar kawah, maka kondisi ini dapat mengganggu kestabilan kubah.

Hal tersebut akan mendorong longsornya kubah dan menyebabkan letusan yang terjadi mengarah ke sektor tersebut. Letusan tahun 1954-1956 yang mengarah ke utara merupakan contoh kasus tersebut. Dalam sejarah letusannya, Gunung Merapi dicirikan dengan perubahan yang sangat berarti pada tipe letusannya. Pada masa sekarang, letusan Gunung Merapi berkaitan dengan pertumbuhan dan gugurnya kubah lava, dan menghasilkan awan panas yang oleh kalangan ahli gunung api disebut sebagai Tipe Merapi karena sifatnya yang khas. Tipe letusan ini juga disebut “Wedhus Gembel” oleh masyarakat di sekitar Merapi. Dalam sejarah letusannya tercatat letusan yang paling tua diketahui adalah tahun 1006 (Data Dasar Gunung Api, 1979). Namun catatan terperinci mengenai letusan ini tidak diketahui.

Selama ini telah banyak perdebatan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kebenaran letusan besar 1006. Ketika tahun tersebut diperdebatkan sebagai tahun terjadinya letusan besar, banyak asumsi diajukan untuk mendukung atau menolak teori tersebut. Angka tahun letusan sesungguhnya masih dipertanyakan dan perlu penelitian tentang kebenarannya. Demikian juga peristiwa kejadian dan tingkat letusannya masih merupakan pertanyaan para penulis.

Asumsi terdahulu menyebutkan bahwa longsornya Merapi dan letusannya yang besar pada tahun 1006 telah menyebabkan perpindahan Kerajaan Hindu Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Ijzerman, 1891; Scheltema, 1912; Labberton, 1922; van Bemmelen, 1949, 1956, 1971). Tetapi pernyataan ini disanggah oleh Boechari (1976), karena Mpu Sindok telah memerintah di Delta Brantas pada waktu itu.

Asal Mula Angka Letusan Tahun 1006
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya angka letusan tahun 1006, dan yang menjadikan asumsi Bemmelen dianggap sebagai suatu kebenaran. Asal mulanya adalah dari ditemukannya Prasasti Kalkuta di India yang berangka tahun 963 Saka (1041) yang disebut juga sebagai Prasasti Pucangan. Di dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa telah terjadi bencana besar (pralaya) pada tahun 928 Saka (1006) akibat serangan Raja Wurawari dari Lwaram terhadap Kerajaan Mataram Hindu. Hal ini juga dikuatkan oleh Kern (1913) yang mengemukakan bahwa runtuhnya Kerajaan Mataram Hindu disebabkan oleh perang. Sementara itu, Labberton (1922) mengaitkan kemungkinan penyebab runtuhnya kerajaan tersebut dengan kejadian vulkanik.

Labberton (1922) dan Bemmelen (1949) juga berasumsi bahwa letusan pada tahun 1006 telah mengakibatkan perpindahan Kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur. Lebih lanjut Bemmelen (1949) menghubungkan letusan tersebut dengan runtuhnya bagian puncak Merapi ke arah barat. Dijelaskan bahwa letusan besar tahun 1006 terjadi akibat pergerakan tektonik sepanjang sesar transversal yang menjadi dasar deretan Gunung Api Ungaran – Merapi. Diperkirakan gempa menyertai pergerakan tersebut dan merusak sebagian Candi Borobudur dan Mendut yang dibangun pada abad ke-9. Aktivitas tektonik ini diikuti dengan terjadinya longsoran Merapi dan letusan besar yang produk letusannya diperkirakan menutup candi-candi tersebut, merusak Kerajaan Mataram Hindu Kuno di Jawa Tengah, dan membendung aliran Kali Progo. Longsoran tersebut membentuk Perbukitan Gendol yang terletak di bagian barat Merapi.

Permasalahan
Beberapa masalah atau pertanyaan yang timbul dari teori letusan besar Gunung Merapi adalah:
1. Bukti adanya produk letusan yang diendapkan waktu itu. Jika memang ditemukan, kebenaran letusan Gunung Merapi 1006 (Andreastuti dkk.) endapan yang dimaksud, seberapa jauh dan seberapa luas sebaran endapannya.

2. Bila terjadi longsor pada bagian puncak Merapi, adakah ditemukan endapan debris avalanche yang merupakan produk longsoran pada waktu itu ke arah barat. Dan bila perbukitan Gendol merupakan hasil longsoran dari Merapi, kemiripan karakteristik dengan endapan produk Merapi perlu dipertanyakan.

3. Bukti bahwa perpindahan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur diakibatkan karena letusan.

Metodologi
Dalam menelusuri kebenaran tentang terjadinya letusan tahun 1006, ada beberapa metode yang digunakan,
antara lain:

1. Identifikasi dan korelasi stratigrafi. Dengan melakukan identifikasi endapan di sekitar Gunung Merapi serta melakukan korelasi stratigrafi dengan stratigrafi Gunung Merapi yang ada, maka diperoleh kerangka sejarah pengendapan/letusan yang terjadi waktu itu.

2. Menelusuri acuan riset yang telah dilakukan dan memahami kondisi sosial yang berkaitan dengan waktu tersebut baik dari aspek sejarah, arkeologi, maupun budaya. Dalam penyelidikan ini materi yang diteliti adalah endapan hasil letusan besar yang ada di sekitar Merapi yang berdekatan dengan tahun 1006.

Selain itu dilakukan pula penelusuran terhadap bukti-bukti sejarah/arkeologi berupa prasasti yang berkaitan dengan perkembangan budaya masyarakat pada waktu terkait. Makalah ini dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran terjadinya letusan tersebut, dan mencari bukti-bukti baik dari aspek geologi maupun sosial budaya yang dapat mendukung atau menyanggah kebenaran letusan tersebut.

Aktivitas Gunung Merapi dan Sejarah Letusannya
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia seperti ditunjukkan oleh intensitas letusannya yang tinggi. Letusan Gunung Merapi terjadi sekali dalam kurun waktu 1-7 tahun. Dengan masa tidak aktif paling lama 12 tahun (Bemmelen, 1949) terjadi pada tahun 1849-1861.

Dalam aktivitasnya, letusan Gunung Merapi menghasilkan awan panas rata-rata mencapai jarak 4-5 km. Sejak tahun 1900, indeks letusan berkisar antara 1-3, dengan indeks maksimum 3 terjadi pada tahun 1930 dan 1961. Dua letusan ini menghasilkan awan panas dengan jarak hingga 12 km ke arah baratdaya, sedangkan letusan terakhir terjadi pada 14 Juni 2006 dengan indeks letusan 2 dan menghasilkan awan panas dengan jarak maksimum 7 km ke arah selatan/tenggara (Kali Gendol).

Menurut Andreastuti (1999, 2000), tipe letusan Gunung Merapi sekarang yang berkaitan dengan pertumbuhan dan runtuhnya kubah diperkirakan mulai intensif terjadi sejak tahun 1800-an. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa letusan yang berkaitan dengan pertumbuhan kubah juga terjadi pada periode sebelumnya.

Dengan banyaknya argumentasi tentang letusan 1006, maka ketika ditelusuri kembali, bagaimana letusan tahun 1006 diasumsikan sebagai letusan besar, diperlukan bukti ilmiah untuk mendukung pernyataan tersebut. Andreastuti (1999), telah melakukan studi tentang Gunung Merapi dan mempelajari sejarah letusannya yang terjadi sejak sekitar 3.000 tahun yang lalu, dan menemukan setidaknya 11 letusan besar yang terjadi.

Sejarah letusan Gunung Merapi ditentukan berdasarkan pemetaan distribusi endapan hasil letusan, sehingga dapat disusun teprostratigrafi atau urutan perlapisan produk letusan gunung tersebut. Letusan besar biasanya dicirikan oleh material hasil pengeringan magma yang dilontarkan secara vertikal dan menghasilkan material yang didominasi oleh batuapung. Semakin tinggi dan banyak material yang terlontar, maka semakin besar tingkat letusannya, dan semakin luas distribusinya. Letusan ini biasanya disertai dengan penyebaran abu yang mencakup daerah yang luas, hingga tidak hanya mengancam makhluk hidup, namun juga sarana transportasi darat, bahkan penerbangan. Lebih jauh, sebaran abu ini juga berpengaruh pada iklim global.

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa beberapa letusan besar telah terjadi di masa lalu 1006. Kejadian letusan paling dekat dengan waktu tersebut adalah letusan yang terjadi sekitar 1112 ± 73 tahun yang lalu berdasarkan penentuan umur menggunakan Karbon. Letusan ini bertipe plinian dan menghasilkan Selo tefra dalam indeks letusan 3-4, dengan kolom letusan setinggi 10 km vertikal (Andreastuti, 1999, p 32). Pada tipe lokasinya di daerah Plalangan, lereng utara Gunung Merapi, endapan ini menunjukkan perulangan lapisan jatuhan piroklastika.

Pembahasan
Pernyataan Bemmelen (1949) yang menyebutkan bahwa pralaya terjadi pada tahun 928 Saka dan berkaitan dengan longsoran dan letusan Merapi perlu ditinjau kembali mengingat bukti-bukti dan sejarah, peninggalan budaya, dan bukti geologi menunjukkan fakta yang berbeda.

Bukti Sejarah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa terdapat kesalahan interpretasi pada Prasasti Pucangan yang dibuat oleh Raja Airlangga (1019-1042) pada tahun 1041. Semula Kern (1913) menyebutkan bahwa pralaya terjadi pada tahun 928 Saka (1006). Namun hal ini dibantah oleh Boechari (1976) yang mengemukakan bahwa pralaya terjadi pada tahun 1016. Sementara itu Sedyawati (2006) menyebutkan bahwa pralaya terjadi pada tahun 939 Saka (tahun 1017). Dalam prasasti di atas juga dinyatakan bahwa pralaya yang terjadi disebabkan oleh serangan Raja Wurawari dari Lwaram. Pralaya itu sendiri terjadi pada jaman pemerintahan Raja Darmawangsa Tguh (991-1016).

Catatan sejarah menunjukkan bahwa prasasti terakhir di Jawa Tengah yang ditemukan adalah Wulakan yang berangka 925 Masehi, sedangkan prasasti pertama yang ditemukan di Jawa Timur adalah Anjukladang (Prasasti Candi Lor) yang ditemukan pada situs Candi Lor, di Desa Candirejo, empat kilometer di sebelah selatan Kota Nganjuk. Prasasti Anjukladang berangka tahun 859 Saka (937), dan dibuat oleh Mpu Sindok yang memerintah dari tahun 928 atau 929 sampai 948.

Prasasti ini merupakan prasasti kemenangan perang Kerajaan Mataram dari serangan tentara Sriwijaya. Mpu Sindok adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Mataram dan mendirikan kerajaan di Jawa Timur bernama Medang dengan ibukota kerajaannya adalah Watugaluh, di tepi Sungai Brantas (dekat Kabupaten Jombang sekarang).

Prasasti Canggal lain yang ditemukan berkaitan dengan teori Bemmelen (1949) bahwa Perbukitan Gendol diasumsikan sebagai longsoran dari Gunung Merapi. Prasasti ini terdapat di Candi Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Canggal berangka tahun 732 Masehi, yang berarti Perbukitan Gendol telah ada lebih dari dua setengah abad sebelum tahun 1006.

Berkaitan dengan pernyataan Labberton (1922) tentang pralaya yang berhubungan dengan kejadian vulkanik, terdapat prasasti yang menyebutkan tentang letusan gunung api, yaitu Prasasti Rukam. Prasasti ini berangka tahun 829 Saka (907 M) dan ditemukan di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa Desa Rukam telah rusak akibat letusan gunung api. Namun tidak disebutkan asal letusan gunung tersebut.

Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya keramik dalam endapan vulkanik di sisi baratdaya Borobudur. Keramik ini berasal dari Dinasti Tang (618-906 M) dan temuan koin serta pecahan keramik dari Dinasti Song abad ke-10-13 (Miksic,1991).

Bukti Geologi
Berdasarkan data geologi yang ada, baik dari penelitian sebelumnya atau penelitian yang dilakukan di sini, maka hasil penelitian dapat disarikan sebagai berikut:
Perbukitan Gendol, yang terletak sekitar 20 km sebelah barat Merapi dan diperkirakan oleh Bemmelen (1949) sebagai hasil longsoran Gunung Merapi, memunyai umur jauh lebih tua dari Merapi (sekitar 3,5 juta tahun; Newhall dkk., 2000), sedangkan batuan tertua dari Merapi berumur 400.000.

Bemmelen (1949) juga menyebutkan bahwa Bukit Gendol terdiri atas perselingan breksi lahar dan endapan fluviatil tufan. Fragmen vulkaniknya terdiri atas vitrofi rik augit-hipersten-horenblenda yang serupa dengan Merapi tua, tetapi berbeda dengan Menoreh karena tidak ada hipersten. Sebaliknya Newhall (2000) menyanggah bahwa terdapat kesamaan antara batuan dari Gendol dan Menoreh yang terletak 7 km di sebelah baratnya dengan mineral asosiasi horenblenda-piroksen andesit. Selain itu batuan dari perbukitan Gendol memunyai tingkat pelapukan yang sangat tinggi dibanding dengan Merapi.

Sementara itu, Andreastuti (1999) dalam studinya mengemukakan bahwa asosiasi mineral batuan Merapi tua tersusun atas horenblenda-piroksen andesit dengan atau tanpa ortopiroksen. Ditinjau dari karakteristik endapannya, perbukitan Gendol tidak menunjukkan ciri endapan debris avalanche, yaitu hasil longsoran sektoral gunung api dalam skala besar, akibat ketidakstabilan gravitasi.

Endapan ini berbentuk sebaran seperti kipas dan endapan dicirikan oleh morfologi perbukitan di sepanjang jalur longsoran dengan ketinggian yang semakin berkurang menjauhi sumbernya. Di daerah sekitar Gunung Merapi endapan debris avalance ditemukan di lereng bagian selatan, yaitu di Kali Boyong. Namun belum ditemukan di tempat lain. Hasil analisis Karbon menunjukkan bahwa endapan ini berumur 1130 ± 50 tahun (akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10) (Newhall, 2000). Salah satu ciri endapan debris avalanche adalah masih ditemukannya struktur asli batuan sebelum longsor (contoh perlapisan), juga ditemukan struktur jigsaw crack yang merupakan karakteristik khas endapan tersebut. Namun, dari aspek endapan, rekaman sejarah letusan Merapi menunjukkan bahwa endapan yang dihasilkan oleh letusan yang cukup besar dan yang mendekati tahun 1006 adalah letusan plinian yang Struktur perlapisan dalam blok batuan menghasilkan Selo tefra). Berdasarkan penanggalan karbon (14C), endapan tersebut berumur 1112 ± 73 tahun atau tahun 765 – 911. Jadi produk letusan ini berumur lebih tua.

Simpulan
Dugaan Labberton (1922) dan Bemmelen (1949) bahwa suatu letusan pada tahun 1006 telah mengakibatkan perpindahan Kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur telah dibantah oleh Boechari (1976) karena Kerajaan Mataram telah pindah ke Jawa Timur sejak tahun 928. Hal ini juga ditunjukkan dengan ditemukannya Prasasti Anjukladang yang dibuat oleh Mpu Sindok pada tahun 937, dan merupakan prasasti Kerajaan Mataram pertama di Jawa Timur. Pada Prasasti Pucangan secara jelas disebutkan bahwa pralaya di Kerajaan Mataram terjadi tahun 1016 disebabkan oleh serangan Raja Wurawari dari Lwaram pada zaman pemerintahan Raja Darmawangsa yang memerintah dari tahun 991-1016 M. Penggantinya adalah Airlangga yang membuat Prasasti Pucangan pada tahun 1041 dan memerintah dari tahun 1019-1042.

Dari penemuan endapan Selo tefra dan berdasarkan fakta sejarah bahwa Mpu Sindok telah memerintah pada 928 atau 929 sampai 948, maka kemungkinan letusan Merapi cukup besar waktu itu (VEI 3-4) yang terjadi antara tahun 765-911 telah mendorong penduduk Kerajaan Mataram untuk mulai pindah ke Jawa Timur. Endapan debris avalanche yang terjadi di Merapi mungkin dalam skala kecil antara tahun 870-970. Bukti-bukti ini menyimpulkan bahwa letusan besar Gunung Merapi pada tahun 1006 tidak pernah terjadi.

Dari fakta-fakta yang telah dibahas di atas, ada tiga kemungkinan penyebab pindahnya penduduk Kerajaan Mataran ke Jawa Timur pada waktu itu, yaitu akibat intensitas Merapi yang tinggi, atau untuk menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya, dan yang terakhir karena letak lokasi perdagangan yang strategis di daerah Delta Brantas.

February 9, 2011 Posted by | Babat Tanah Jawa | | Leave a comment

Legenda Aksara Jawa

Pangeran Adji Saka (3000-100 SM)

Setelah benua Atlantis Tengelam tersebutlah sebuah teori geologi kuno yang menyatakan bahwa, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan dereta Gunung Himalaya.Konon, proses tersebut terjadi pada zaman es mencair ribuan tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian di sebut  Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata (tanah para Dewa ) atau Jewawut (padi-padian)yang tumbuh subur,dan  yang satu potongan bagiannya adalah gugusan pulau-pulau yang bertebaran sampai semenanjung Selandia,Australia dan Papua(Kepulauan Polonesia).Kata Jawata di artikan pula sebagai guru atau gurunya orang Jawa.Maka munculah peradaban baru di bekas reruntuhan kejayaan lama ,Kata Wong dari istilah jawa adalah kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.

Al kisah, dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhita terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).
Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.
Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.Memang, menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.

Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.
Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kawin dengan Pratiwi, dewi bumi.Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen, begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang pertama yang bernama Hadipati Alip.Di Kemudian hari ,Hadipati Alip berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa Jawa. Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan Hadipati Ehe. Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis tanpa tilas.Dilanjutkan dengan
Masih diutus rombongan berikutnya,sayang seperti halnya utusan terdahulu, seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami nasib sama, tumpes kelor tak tersisa.

Melihat semua itu, Prabu Galbah yang sudah lanjut usia terkejut dan mengalami tekanan batin hebat. Akibatnya karena tak kuat menanggung derita. Di kemudian hari jatuh sakit, dan dalam waktu tak lama mangkatlah sang raja besar.Dengan adanya kekosongan tahta berakibat terjadinya perebutan kekuasaan di lingkungan dalam istana yang berlarut – larut.
Pendeta Ngali Samsujen, merasa bersalah karena nasehatnya menimbulkan malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau mati dalam rasa bersalah. Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia ingin melanjutkan missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat pada sahabatnya yang sakti, bersanama Jaka Sangkala alias Aji Saka, yang tinggal di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa berangkatlah rombongan besar dengan armada kapal menyebrangi lautan menuju tanah Jawa.

Habisnya para migran dari Ngerum ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih. Mereka tidak meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak zaman dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji artinya ratu, man atau wan artinya sakti).Selain penghuni yang baik, juga dihuni penghuni brekasakan, anak buah Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani tinggal di bumi Jawa, sebelum mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar.

Akhirnya, Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya Dewi Sri Kembang. Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum yang mati tidak bisa hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak buah Batara Kala. Tapi ke-8 Hadipati yang gugur dalam tugas itu berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan diserahi tugas menjaga 8 mata angina. Namun mereka tetap menghuni alam halus.Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.

Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya, tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.
Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimula-mula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan manusia di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.

Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak SM, tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM…Setelah menjadi raja di kerajaan Medang Kamulan Prabu Aji Saka senang berkelana ke plosok penjuru negeri untuk melihat keadaan rakyatnya.Seiring berjalanya waktu,maka tersebutlah sebuah kisah ke gagahan satria bernama Aji Saka, memiliki dua utusan yang sangat setia. Dia lah penakluk Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang paling kejam. Suatu ketika, Aji Saka harus melakukan perjalanan jauh.

Namun sebelum mengembara dia titipkan pusakanya kepada salah satu abdinya yang setia. Aji Saka berpesan, agar pusaka itu dijaga baik-baik dan tidak boleh diserahkan kepada siapa saja, kecuali setelah dia  pulang. Setelah berpesan, Aji Saka pun pergi melakukan perjalanan didampingi oleh abdi yang satunya. Karena sangat setia, kedua abdi itu mengikuti perintah dengan keteguhan hati. Di tengah perjalanan jauh tersebut, Aji Saka berjumpa dengan musuhnya yang sangat kuat. Segala upaya dan daya dia kerahkan untuk mengalahkan sang musuh. Musuh itu terlalu kuat. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya, hanya dengan pusaka yang dia miliki. Maka, diutuslah sang abdi untuk mengambil pusaka. Sang abdi, mematuhi perintah dan segera pulang untuk mengambil pusaka Aji Saka. Sesampai di kediaman Aji Saka, terjadilah perdebatan yang sangat rumit antara abdi yang menunggu pusaka dengan abdi yang diamanati menjaganya. Yang satu, tidak bersedia menyerahkannya, karena menaati perintah Aji Saka. Sedangkan yang diutus untuk  mengambil, memaksa karena Aji Saka dalam keadaan bahaya. Perdebatan itu berujung pada pertempuran kedua abdi, yang sama-sama ingin memenuhi amanah. Akhirnya kedua abdi itu sama-sama wafat.

Begitulah kisah mengenai munculnya penggunaan huruf Jawa yang berjumlah 20 buah itu. Cerita legendaris yang kaya dengan nilai filosofis dan pelajaran berharga.

Kisah itu menyusun rangkaian huruf Jawa yang kita kenal sampai saat ini. ha na ca ra ka (Lima huruf pertama bermakna ada utusan, caraka adalah duta atau utusan) da ta sa wa la  (Lima huruf kedua bermakna saling berselisih, mempertahankan keyakinan) pa dha ja ya nya (Lima huruf ketiga bermakna, sama kuatnya) ma ga ba tha nga (Lima huruf keempat bermakna, sama-sama mati menjadi bangkai).Masih banyak kisah-kisah perjalanan hidup Prabu Aji Saka yang diceritakan dari mulut ke mulut menjadi legenda yang mewarnai kasanah cerita babat tanah jawa. To be continueo.

February 9, 2011 Posted by | Campuran | Leave a comment